11/Maret/2022

Tahun 2022 YAGAT mendapat dukungan dari Kedutaan New Zealand melalui Head of Embassy Fund (HEF). Skema HEF merupakan skema pendanaan proyek pembangunan yang disiapkan oleh Kedutaan New Zealand melalui New Zealand Aid Programme untuk mendanai proyek-proyek jangka pendek yang mampu memberi dampak positif bagi masyarakat. Setelah proposal Uji Coba Budidaya Teripang Pasir (Holothuria scabra) dan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) dan Konservasi Kawasan Pantai di Desa Watowara dan Adabangdinyatakan lolos oleh pihak Kedutaan New Zealand pada November 2021, kini proyek tersebut telah berada pada tahap pengadaan barang.

Sebelumnya, kegiatan sosialisasi proyek kepada pemanfaat program juga dilakukan pada awal tahun 2022 yang dihadiri oleh seluruh anggota kelompok yang berjumlah 32 orang. Anggota kelompok sangat antusias menyambut kegiatan ini. Komunikasi dan koordinasi dengan perangkat desa pun sudah dilakukan dan proyek ini mendapatkan tanggapan yang positif. Diharapkan proyek ini dapat meningkatkan pendapatan kelompok nelayan dan merestorasi area mangrove di kawasan pesisir desa Watowara dan Adabang.

Bekerja bersama kelompok petani rumput laut di Desa Lato dan Adabang, total pemanfaat program secara langsung selama 2 tahun berjumlah tidak kurang dari 600 individu. Di samping itu, terdapat sekitar 11.000 individu pemanfaat program secara tidak langsung yaitu warga desa yang mendapat manfaat dari kegiatan konservasi mangrove jenis Rhizopora di pesisir pantai setelah 5 tahun. Salah satu manfaat jasa ekosistem (regulating services dan provisioning services) yang akan dirasakan masyarakat dari kegiatan reboisasi mangrove adalah perisai angin dan pencegahan abrasi.

Video File: https://drive.google.com/file/d/1SnY-2u2uCQiBErEx1iOJRuIhJdFUar2k/view

 

  

Gambar 1 Serah Terima Pelampung

Gambar 2 Foto Bersama Anggota Kelompok

28/Februari/2022

Perlahan-lahan YAGAT mulai memasuki sub-tema baru dalam tema Gender Equality, Disability and Social Inclusionatau sering disebut GEDSI. Sebelumnya fokus intervensi pada gender equality, kini YAGAT mulai merambah ke isu disabilitas dan inklusi sosial.

Tema tersebut diperkenalkan oleh rekan organisasi bernama GARAMIN, sebuah Civil Society Organisation (CSO) yang sudah sangat lama bergerak dalam program advokasi hak-hak disabilitas untuk iklusi.

Direktur dan staf YAGAT mendapatkan kesempatan untuk memperluas perspektif pembangunan. Dalam rangkaian Training of Trainer Modul Pelatihan Disabilitas dan Lansia 24-26 Februari 2022, yang digelar GARAMIN bersama Komnas Perempuan Republik Indonesia, personel YAGAT mendalami berbagai teknik berkomunikasi yang tepat kepada ragam disabilitas fisik seperti netra dan bisu. Salah satu poin penting dalam komunikasi dengan rekan-rekan difabel adalah assertive communication yaitu berkomunikasi dengan dengan prinsip 3C – comfortable, confidenceand clear. Hal ini disampaikan oleh Ka Rika dari Rumah Perempuan NTT. Ia menyampaikan bahwa ketika berkomunikasi dengan rekan difabel, kita perlu menciptakan situasi yang nyaman dan kondusif (comfortable) dan memastikan hal yang kita sampaikan jelas dan dapat dipahami.

Pada kesempatan sebelumnya YAGAT juga telah mengikuti 2 kegiatan yang diadakan oleh Humanity & Inclusion dan CIS Timor, yakni Pelatihan Washington Group Questions (WGS) pada Desember 2021 dan talkshow mengenal ragam disabilitas netra pada bulan Januari 2022. Tentu semua rangkaian kegiatan ini semakin memperdalam pengetahuan dan sensitivitas personel YAGAT dalam melakukan intervensi program pembangunan di lapangan.

 

 

Gambar 1. Ibu Direktris YAGAT mendapatkan Hadiah

Gamber 2. Suasana Kegiatan

18/Desember/2021

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii memiliki peluang usaha masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hingga tahun 2021, luas kawasan yang digarap petani untuk rumput laut adalah 11.000 ha dari total 54.000 ha atau sekitar 20,3%.

Secara iklim wilayah laut NTT sudah mendukung untuk melakukan budidaya rumput laut, khususnya jenis cottonii. Curah hujan yang rendah, kuatnya sinar matahari dan pantai berkarang merupakan prasyarat untuk budidaya rumput laut. Keadaan perairan di NTT sudah ‘terberikan’ keadaan ekologis yang demikian, sehingga sudah jelas bahwa rumput laut dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan alternatif masyarakat pesisir.

Dengan asusmsi modal sebanyak Rp 1 juta untuk mengadakan 5 tali ris rumput laut seorang petani sudah bisa memanen sekitar 500-600 kg rumput laut segar dalam waktu sekitar 30-45 hari. Rumput laut segar bisa langsung dijual dengan harga berkisar antara Rp 15.000-17.000/kg, maka seorang petani mampu mendapatkan sekitar Rp 9-10 juta dalam waktu relatif singkat.

Melihat potensi ekonomi yang luar biasa tersebut YAGAT bersama NZ-AID melalui Head of Embassy Fund 2021 berencana untuk melakukan intervensi budi daya rumput laut di pesisir utara Kabupaten Flores Timur. Selain menargetkan peningkatan ekonomi, program ini juga dirancang untuk memberikan dampak ekologis yang positif melalui usaha konservasi kawasan pesisir. Seluruh komponen masyarakat, mulai dari anak sekolah hingga petani dan nelayan akan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan ini.

 

Gambar Eucheumu cottonii
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Eucheuma

15/Desember/2021

Isu inklusi telah lama dielu-elukan dalam program-program pembangunan skala global dan lokal. Inklusi masih menjadi salah satu agenda penting dalam SDGs hingga 2030 mendatang.

Pada dasarnya pembangunan yang inklusi merupakan pembangunan yang dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh pihak yang bekepentingan khususnya kelompok rentan / vulnerable groups secara aktif untuk mencapai tujuan. Melalui keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, diharapkan program-program pembangunan mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan sosial di tengah masyarakat.

YAGAT menyambut baik inisiatif Humanity & Inclusion (HI) dan CIS Timor untuk mengikuti kegiatan Pelatihan WGQ (Washington Group Question) untuk meningkatkan pengetahuan, kapasitas dan keterampilan dalam melakukan, mengelola dan menganalisis pengumpulan data disabilitas. WGQ terdiri dari 6 pertanyaan tentang fungsi kemampuan indrawi yang dilengkapi dengan 4 pilihan jawaban. Selain pertanyaan umum dalam initial assessment, melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut agen pembangunan mampu mengidentifikasi kebutuhan beneficiaries. Proses identifikasi kebutuhan yang tepat akan mengarahkan program pada intervensi yang tepat pula.

Selama 2 hari pelatihan daring tersebut seluruh peserta dibagikan pemahaman mengenai inklusi difabel dari para ahli dan praktisi di bidang tersebut seperti Berti Malingara (HI) dan Kuni Fatonah (SIGAB). Dalam pengantarnya Berty menjelaskan, “inklusi paling tidak penting karena melalui pendekatan inklusi kita mampu mengindentifikasi kebutuhan yang spesifik, hasil pembangunan kita bisa dinikmati oleh smeua kalangan, dan memastikan semua orang mendapat akses yang sama tanpa terkecuali”.

Washington Group Questions

Subkategori